Pada awal abad ke-21, semesta (bawana) telah memasuki zaman Manunggalian yang diawali dengan diwarnainya dunia oleh gelombang besar semangat Pemurnian dunia atas 8 (delapan) bagian yaitu sejarah, peradaban, budaya, tradisi, filsafat, ideologi, sosial, dan manusia. Inilah yang disebut oleh Mazhab Indonesia sebagai Disiplin “Hubungan Dunia“. Pemurnian bergerak multipolar di bidang sastra, seni, arsitektur, musik, politik, hukum, ilmu pengetahuan, agama, dan di bidang intelektual. Indonesia di Dasawarsa Ketiga Era Manunggalian ini sedang dalam proses Menggerakkan Nilai-Nilai Keindonesiaan (Pemurnian) Untuk Mewujudkan Tata Dunia Baru Abad ke-21.
Semangat Pemurnian ini (melihat kembali dunia secara ontologi) dan pengkodifikasian paradigma, filsafat, dan teori (menata kembali dunia secara epistemologi) berkenaan dengan cara bangsa-bangsa dan negara-negara membangun pemerintahan dunia berdasarkan nilai-nilai utama (menilai kembali dunia secara aksiologi) yang hendak diproyeksikan bersama-sama yaitu nilai-nilai Kemanunggalan Dunia: gotong royong, kesatuan, dan kerukunan. Dalam usaha menggerakan semangat Manunggalian, Indonesia sebagai salah satu bangsa besar di Asia dan dan diproyeksikan sebagai pelaku sejarah masa depan dunia, tertantang untuk mampu menggerakkan “Nilai-Nilai Keindonesiaan” untuk mewujudkan tata dunia baru abad ke-21 berdasarkan Prinsip-Prinsip Manunggalisme.
Sebelumnya, ketika dunia berada pada fase akhir Perang Dingin di Abad ke-20 ontologi Indonesia masih gelap gulita, pemikiran filsafatnya tidak dipandang oleh dunia. Dan, kini saat memasuki zaman Manunggalian, Indonesia mulai menampakkan cahaya fajarnya, dimana Indonesia yang telah dipersiapkan oleh Ir. Soekarno sebagai Mercusuar Dunia mulai mencari jalan filsafatnya sebagai estafet gemilang menuju cita-cita kemakmuran. Dan, kini tidak ada salahnya, bilamana estafet kemakmuran itu mulai disambung oleh Mazhab Indonesia untuk disuarakan ke seluruh dunia dengan mencetuskan “Manunggalian”sebagai jalan Indonesia dalam mewarnai semangat zaman untuk mencapai kemakmuran itu.
Sebelum menyelami lebih jauh tentang semangat Manunggalian, mari melihat ke belakang sejenak tentang pertarungan dua ideologi besar yang dinamakan sebagai “Perang Dingin”. Dulu menjelang berakhirnya abad ke-20, dunia begitu lelahnya melewati masa-masa sulit akibat dari persiteruan dua pemikiran “filsafat” besar antara filsafat Timur dan filsat Barat. Pertempuran tersebut diwarnai oleh pertarungan ide besar tentang bagaimana mengakhiri “Perang Dingin” yang semula hanya dipertontonkan melalui persiteruan pemikiran kemudian menjalar ke persiteruan militer.
Pada awalnya, kedua belah pihak hanya ingin menawarkan ide-ide terbaiknya sebagai paradigma, filsafat, dan teori paling baik dalam membangun Hubungan Dunia Abad ke-21 sebelum meninggalkan Hubungan Dunia Abad ke-20, namun ternyata berujung pada bencana dunia di akhir abad ke-20. Untuk menghindari bencana tersebut terulang kembali, maka tugas filsafat dan ilmu pengetahuan adalah menawarkan pengkodifikasian terbaik tentang paradigma, filsafat, dan teori yang bermuatan “Nilai-Nilai Keindonesiaan” yang tertuang dalam “Prinsip-Prinsip Manunggalisme” yang kemungkinan besar dapat menjadi pedoman menata Hubungan Dunia memasuki dasawarsa ketiga abad ke-21 era Manunggalian.
Sebelum Perang Dingin terjadi, dulu Indonesia masih kecil, lemah, dan tertatih. Beban posisi dan beban sejarah yang menghampiri kehidupan masyarakatnya hari ini seakan lengah dari ruh sejarah yang selalu terdengungkan: “Wahai Rakyatku, ingatlah selalu pada Sejarah dan jangan sekali-sekali melupakan Sejarah (Soekarno, 1945).” Kini Indonesia harus belajar memaknai masa lalu dengan pemikiran filsafatnya sendiri, karena bangsa yang lemah adalah bangsa yang lupa akan sejarahnya, lupa akan nenek moyangnya, dan tidak mampu menghormati sejarahnya.
Untuk bangkit, kita tidak hanya sekedar mengingat sejarah, tetapi juga harus mampu memaknai sebuah peristiwa di masa lalu, mengambil hikmah kemudian berbenah. Mari menengok sejarah masa lampau, memahami karakter Indonesia lebih dalam. Dalam kesempatan ini, Mazhab Indonesia ingin menyuarakan bahwa sebagai bangsa Indonesia yang ingin bersumbangsih kepada Hubungan Dunia Abad Ke-21, Mazhab Indonesia memulai untuk memanggil dan mengajak saudara sekalian, untuk mewajibkan pembangun dunia sebagai wujud tata bawana sebagai masyarakat dunia yang “Bhineka Tunggal Ika” menuju Pemurnian Dunia yaitu “Manunggalisasi” atau Manunggalian.
Selain itu, menilik mandat UUD 1945 memiliki makna Manunggal sebagai dasar berkehidupan dan berbangsa Indonesia. Mandat UUD 1945 memiliki kaitan langsung dengan tiga orientasi terhadap dunia internasional (Hubungan Dunia), yaitu UUD 1945 sebagai pondasi Politik Dalam Negeri Indonesia, UUD 1945 sebagai karakter atau prinsip Politik Luar Negeri Indonesia, dan UUD 1945 sebagai proyeksi kehidupan manusia Indonesia di pentas Politik Dunia. Ketiga proyeksi ini termaktub dalam pembukaan UUD 1945 dan menjadi ruh penggerak Indonesia terhadap tata dunia. Berikut adalah Mukaddimah UUD 1945 yang diikuti dengan refleksi pemikiran filsafat Manunggalisme, yaitu:
Alinea 01: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Alinea 02: Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Alinea 03: Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Alinea 04: Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan pemahaman dari seluruh alinea UU 1945 di atas, Mazhab Indonesia mencoba mengambil benang merah untuk membangun pemikiran Manunggalisme dalam melihat dunia, memahami bahwa “kemerdekaan” bangsa-bangsa dan “penjajahan” oleh bangsa-bangsa merupakan hal yang (sebenarnya) lumrah dalam sejarah permanunggalan dunia, namun hal itu harus dihentikan sebisa mungkin oleh siapapun. Selanjutnya, Mazhab Indonesia mencoba mendalami: apa yang dimaksud dengan “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang?”
Istilah mengantarkan adalah bahwa sesuatu tidaklah sampai secara keseluruhan, melainkan ada pesan estafet dari satu generasi ke generasi berikutnya, itulah makna bahwa Indonesia secara substansi masih belum merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebab manusia-manusia Indonesia terdahulu hanya mengantarkan, dan persoalan sampai atau tidak ke “pintu gerbang” adalah berkaitan dengan waktu, generasi, dan kematangan pemikiran.
Mazhab Indonesia menekankan, bahwa sejarah permanunggalan dunia juga termaktub dalam alinea keempat “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Tidak ada satupun negara di dunia ini hidup tanpa berkelompok, mereka harus bekerjasama, gotong-royong, dan berkembang untuk menciptakan dunia yang damai, aman, dan makmur. Itulah makna Kemanunggalan Dunia: gotong royong, persatuan, dan kerukunan dunia.
Sebagai konsekuensinya, Mazhab Indonesia mengajak untuk membaca semangat zaman dulu, kini, dan ke depan. Abad ke-21 adalah periode yang akan menentukan masa depan Hubungan Dunia. Meskipun, pada abad ke-20 Soekarno mengamanatkan bahwa Indonesia semestinya sudah “berlabuh” tapi memang masih belum bisa berlabuh. Mazhab Indonesia memiliki tekad besar untuk bisa sampai ke tujuan, dan berlabuh dengan kokoh.
Pada abad ke-21 sekarang, memasuki 2024, bangsa-bangsa yang bersatu “Manunggalisasi” mesti bergegas bahwa Indonesia akan terus mendayung. Tapi, cara mendayung Indonesia harus berubah, bukan lagi mendayung di antara dua karang, karena pada Abad ke-21, 22-28, dst… Indonesia adalah “Karang Terkuat di Dunia.” Oleh karena itu, Mazhab Indonesia mencetuskan Prinsip Kebijakan Luar Negeri Indonesia “Haryamatra Manunggal.”
Mazhab Indonesia memiliki slogan besar, bahwa: “Indonesia harus memimpin dunia, oleh karena itu, indonesia harus berani mendefinisikan ulang dunia abad ke-21. Berangkat dari pemikiran ini, Indonesia harus aktif mendorong rekonstruksi terhadap Evolusi Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia: dari Prinsip “Bebas Aktif” ke Prinsip “Haryamatra Manunggal.” Juga, bahwa “Sesungguhnya pada abad ini dan mendatang, Indonesia harus berani mengambil tanggung jawab penuh membangun “Sistem Perdamaian Manunggal” sepanjang sejarah dunia di Era Manunggalian.
Indonesia harus berani mengambil tanggung jawab penuh dalam memimpin dunia abad ke-21. Oleh karena itu, Indonesia harus berani mendefinisikan ulang Hubungan Dunia abad ke-21. Indonesia harus berani menjadi pelopor bagi kepemimpinan Bangsa Manunggal atas penguasaan 8 matra wilayah dunia: darat, laut, udara, bawah tanah, khatulistiwa, siber, ruang hampa, dan galaksi.” Hal ini tertuang dalam “Geometripolitika” yaitu memahami dunia dengan mendekatinya dengan merekontruksi “Keamanan Dunia Basis Kelima.”
Dan, oleh karena itulah Indonesia bersama Bangsa Manunggal lainnya menggunakan sudut pandang “Manunggalisme” untuk mendobrak, mengubah, dan mengarahkan sistem politik dunia masa depan dari Atlantika menuju Manunggalika melalui gagasan “Haraymatra Manunggal” yang meliputi lima pilar, yaitu: (1)Episentrum Maritim Dunia, (2)Ekuilibrium Daratan Dunia, (3)Arsitektum Khatulistiwa Dunia, (4)Geopolitikum Benua Indonesia, dan (5)Geometripolitikum Daerah Manunggal Dunia (Manunggalika). Kelima pilar ini adalah prinsip “Haryamatra Manunggal” yang mengangkat Indonesia sebagai Kekuatan Dunia Abad ke-21, Abad ke-22 hingga Abad ke-28, dst.”
Menghadapi keadaan dunia masa kini yang dihadapkan pada berbagai pertemuan pemikiran dari berbagai arah, sehingga semangat Hubungan Dunia Abad ke-21 menghadapi berbagai macam warna pemikiran, terlebih lagi dengan kehadiran dua teknologi paling mutakhir Abad ke-21, yaitu teknologi nuklir dan teknologi siber yang kedua-duanya dapat digunakan sebagai senjata dan alat untuk menjaga stabilitas dunia. Namun, apalah arti keduanya tanpa dibarengi dengan kebijaksanaan yang hanya ditemui dalam ruang diskusi filsafat.
Munculnya perang siber dan konflik nuklir Antarbangsa mendorong dunia menuju pada situasi distabilitas dunia, yaitu keadaan yang tidak pasti akibat penggunaan teknologi nuklir dan siber dalam jumlah yang melimpah dan tidak terbatas. Hal ini mendorong perubahan lingkungan strategik yang pada akhirnya mampu mempengaruhi manusia dalam menyikapi persoalan keamanan dari yang sifatnya tradisional hingga modern. Diperparah dengan meningkatnya senjata pemusnah masal dalam bentuk senjata Biologi, Fisika, Kimia. Senjata Biologi hadir dalam bentuk virus dan pandemi yang baru saja dan sedang kita hadapi yaitu, Virus Covid-19 pada akhir tahun 2019 lalu. Dengan demikian, bukankah sebaiknya filsafat ikut memandu dan mewarnai cara manusia memanfaakan kedua teknologi tersebut?
Pada abad ke-21 persoalan yang paling kompleks dalam melihat tatanan dunia, yaitu keadaan umum Tatanan Dunia Abad Ke-21 yang dalam kesempatan kali ini kita sebut sebagai Era Manunggalian sebagai proses Pemurnian dunia setelah mengalami era Pencerahan yang telah terlanjur diwarnai oleh Dominasi Ontologi Ilmu Pengetahuan Barat. Era Pemurnian adalah gerakan pembangunan Tatanan Dunia menggunakan nilai-nilai ke-Timur-an yang salah satunya yaitu mengedepankan penggunaan “Sistem Dunia yang bersifat Gotong Royong” dibandingkan dengan nilai-nilai pembangunan Hubungan Dunia dari Barat yang bersifat anarki dan eksploitasif. Persoalan bahwa mengapa Hubungan Dunia sangat penting untuk dipelajari dan bagaimana pengaruhnya bagi Dunia Timur maupun Barat?
Pertanyaan-pertanyaan di atas telah coba dijawab dan dianalisis dalam seminar-seminar terdahulu. Setidaknya, dengan keterbatasan yang cukup masuk akal, bahwa kali ini Mazhab Indonesia mencoba memetakan bagaimana dan dimana Manunggalisme sebagai perspektif Indonesia berpijak dalam melihat fenomena Hubungan Dunia masa depan. Oleh karena itu, untuk memahami masa depan Hubungan Dunia, muncul tiga pertanyaan berikut: Pertama, Sistem Hubungan Dunia seperti apakah yang lebih sesuai untuk memahami Hubungan Dunia Era Manunggalian Abad Ke-21? (Ontologi). Kedua, Struktur Hubungan Dunia seperti bagaimakah yang lebih sesuai untuk memahami Hubungan Dunia Era Manunggalian Abad Ke-21? (Epistemologi). Ketiga, Polarisme Hubungan Dunia manakah yang lebih sesuai untuk menata Hubungan Dunia Era Manunggalian Abad Ke-21? (Aksiologi).
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, perlu dipahami, pertama masa depan Hubungan Dunia akan selalu bertumpu pada dua sifatnya, yaitu tetap hadirnya cara berpikir yang berbentuk tradisional dengan mengandalkan nilai-nilai yang diamini oleh bangsa-bangsa (Timur dan Barat), dan berkembangnya cara berpikir tersebut dalam bentuk non-tradisonal. Kedua, kajian Hubungan Dunia akan selalu menjadi bahan perdebatan akademik dan teoritik terutama pengaruhnya dalam mendefinisikan masa depan dunia khususnya dalam Perspektif Indonesia.
Berkenaan dengan semua pertanyaan di atas, setiap kali mempelajari Hubungan Dunia, para pengkaji selalu diperhadapkan dengan pengetahuan ontologi, epistemologi, aksiologi, dan juga eskatologi tentang dunia. Selanjutnya, dari kebanyakan isu yang telah diangkat dalam berbagai diskusi-diskusi filsafat, terdapat beberapa isu penting yang juga berkaitan dengan pembahasan dalam kajian-kajian sebelumnya, yaitu perubahan cara berpikir bangsa-bangsa dan negara-negara Pasca Perang Dingin yang tentu banyak dipengaruhi oleh cara mereka memaknai dunia, terutama dengan hadirnya kemajuan teknologi dan informasi.
Di satu sisi, masih kuatnya pemikiran tradisonal yang kurang dielaborasi dengan pemikiran pembaharuan yang dalam proses ini membutuhkan banyak energi dan waktu. Di sisi lain, perkembangan dunia dan semangat untuk mencari model terbaik Sistem Hubungan Dunia tidak akan dapat dipahami secara komprehensif tanpa mengikutsertakan kajian sejarah hingga sifat-sifat manusianya sebagai penggerak filsafat. Maka lahirnya, Mazhab Indonesia sebagai payung induk filsafat Indonesia untuk menggerakkan masa depan dunia.
Berkenaan dengan itu, posisi Mazhab Indonesia menemukan relavansinya. Dalam menata dunia, siapapun akan selalu berkutat dengan kemajuan teori-teori filsafat terbaru. Di masa depan, teori-teori filsafat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan tatatan dunia. Untuk itu, teori filsafat bergantung pada kemampuannya untuk terus dipakai (relevan) dalam kajian-kajian humaniora, yang dalam perkembangannya tidak hanya memiliki satu fokus kajian saja.
Kajian filsafat harus mampu menjawab masalah-masalah terkait agenda-agenda politik dunia, seperti keamanan manusia, keamanan lingkungan berkenaan dengan perubahan iklim dunia, bencana alam, keamanan kesehatan, masalah-masalah globalisasi, gender dan identitas, teknologi persenjataan, proliferasi Weapon of Mass Destruction (WMD), dan stabilitas militer dunia. Isu terorisme juga perlu diwaspadai berkaitan dengan keamanan nasional dan keamanan individu. Masalah-masalah seperti migrasi, perdebatan antara “kebebasan vs keamanan”, teknologi, globalisasi, “Manunggalisasi” [alternative pasca globalisasi], dan rezim ekonomi dunia juga harus mampu dijawab oleh kajian filsafat, khususnya filsafat keamanan di masa kini dan ke depan (Arianto, 2020).
Pada akhirnya, untuk memahami masa depan Tatanan Dunia, setidaknya Mazhab Indonesia hadir sebagai salah satu Aktor Hubungan Dunia yang ikut membentuk Sistem, Struktur, dan Polarisme Hubungan Dunia melalui sumbangsih pemikiran untuk menjawab (meskipun tidak secara keseluruhan dari isu-isu filsafat secara komprehensif) setidaknya dapat menjadi pintu pembuka bagi para peminat filsafat, baik bagi kalangan akademisi, sipil, maupun militer.
Atas pertimbangan ini, Mazhab Indonesia turut pula menyelenggarakan “Kongres Mazhab Indonesia Ke-1” untuk mengkodifikasi, mengkoordinasi, dan menetapkan arah perkembangan Tatanan Dunia Abad Ke-21 dan masa depannya terkait dengan evolusi sistem pemikiran manusia dan lingkungan humanioranya dari sudut pandang Indonesia dengan mengusung tema “Era Manunggalian: Menggerakkan Nilai-Nilai Keindonesiaan (Pemurnian) Untuk Mewujudkan Tata Dunia Baru Abad Ke-21.”
Dalam mebangun pemikirannya, Mazhab Indonesia melibatkan masyarakat, pemangku kepentingan, dan pakar baik dari penstudi filsafat maupun peminatnya, kajian sosial dan antropologi, sastra, dan Hubungan Internasional yang tergabung dalam 20 pengkaji Filsafat Indonesia. Di sela-sela kongres terdapat serangkaian seminar, Ruang Filsafat, Ruang Pakar, kampanye Anti Senjata Pemusnah Massal (ASPASAL), dan terbentuknya Naskah ”Deklarasi Demak”.
Semangat Manunggalian akan terus menggaungkan “Nilai-Nilai Keindonesiaan” untuk mewarnai dunia dengan semangat Era Manunggalian: Menggerakkan Nilai-Nilai Keindonesiaan (Pemurnian) Untuk Mewujudkan Tata Dunia Baru Abad Ke-21.” Inisiatif Mazhab Indonesia diharapkan dapat menjadi tumpuan sejarah penting untuk perkembangan filsafat Indonesia secara khusus, dan Asia, Afrika dan Eurasia secara menengah, hingga tataran dunia secara menyeluruh. Semoga Indonesia dan Bangsa Timur lainnya berhasil membawa dunia sepanjang era Manunggalian.